Kamis, 13 September 2007

MoU Microsoft (no...!) vs IGOS(yesss....!)

Terkait Memorandum of Understanding (MoU) antara Microsoft dan Pemerintah Indonesia, saya rasa itu hanya dalih untuk melegalkan software yang ada di seluruh departemen dan instansi pemerintah. Menurut saya seharusnya, pemerintah bisa mendayagunakan potensi yang ada di dalam negeri sendiri, karena IGOS dikembangkan bukan hanya oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi, tetapi oleh seluruh pengembang opensource Indonesia. "Jadi berilah kesempatan pada anak-anak bangsa kita,".

Secara garis besar latar belakang adanya MoU antara pemerintah Indonesia dan Microsoft, pemicu utamanya adalah karena tingkat pembajakan yang tinggi (mencapai 87%), sehingga Indonesia masuk watchlist Internasional. Kesalahan tersebut bukan sepenuhnya disebabkan oleh pengguna karena Microsoft secara sengaja membuat software-nya gampang dibajak. Hal ini membuat pengguna jadi ketagihan dan tidak bisa lepas dari produk-produknya. Seperti penyakit saja, ketergantungan obat. Menurut kabar yang beredar, perjanjian Pemerintah dan Microsoft meliputi pembelian lisensi Windows sebanyak 35.496 lisensi dan Microsoft Office sebanyak 177.480 lisensi. Hitung-hitungan dengan kurs US$ 1 = Rp 9.065, maka total anggaran yang akan diterima Microsoft adalah Rp 676 miliar. Menurut saya dengan adanya IGOS merupakan suatu alternatif aplikasi yang bisa digunakan pemerintah dengan kata lain pemerintah dapat mengurangi atau menghemat anggaran untuk membeli lisensi microsoft. Misalnya, Pointer Linux sebagai sistem operasi buatan anak bangsa.

Kelemahan Open Source di Indonesia selain kurang sosialisasi juga karena masih kurang yang menyediakan dukungan secara teknis sehingga tidak banyak yang tahu keunggulan dari aplikasi open source ini. Jika dibandingkan dengan aplikasi Microsoft yang sudah banyak penggunanya dalam hal ini familiar dalam penggunaannya sehingga tidak terlalu ekstra dalam melakukan sosialisasi serta didukung aplikasi yang sudah tersebar baik secara lisensi maupun bajakan.

Kalau secara teknik, saya meyakini IGOS dan aplikasi proprietary lain mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing, jadi keduanya sama-sama baik. Dengan kata lain biar pengguna yang menentukan mana yang baik dan buruk. Tim IGOS pun saya rasa sudah berusaha untuk memberikan aplikasi alternatif yang tentunya dibuat dengan banyak pertimbangan dan diberikan secara gratis dan legal. Namun kerja keras ini, juga harus didukung dari berbagai pihak, tidak bisa jalan sendiri, seperti konsep ABG (Academic, Business, and Goverment). Jadi dari ketiga sektor diatas harus dapat bekerja sama.